Disebutkan dalam UU Desa No.6 Tahun 2014, Badan Usaha Milik Desa yang selanjutnya disebut BUM Desa adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
Melalui Undang-Undang tersebut, Desa memiliki kewenangan yang luar biasa, salah satunya adalah kewenangan yang diberikan kepada desa dalam pengelolaan aset lokal. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bisa menjadi salah satu alat perjuangan di desa. Oleh karena itu, gebrakan pendirian BUMDes secara nasional oleh supradesa, hendaknya jangan dipandang sebagai proyek pemerintah, tetapi kehendak baik dalam memperkuat kemandirian desa.
(Baca: Memahami Hukum Pendirian BUMDes)
Kedua, BUM Desa merupakan usaha desa yang bercirikan kepemilikan kolektif, bukan hanya dimiliki oleh pemerintah desa, bukan hanya dimiliki masyarakat, bukan juga hanya dimiliki oleh individu, melainkan menjadi milik pemerintah desa dan masyarakat. Berbeda dengan koperasi yang dimiliki dan bermanfaat hanya untuk anggotanya, BUM Desa dimiliki dan dimanfaatkan baik oleh pemerintah desa dan masyarakat secara keseluruhan.
BUM Desa atau nama lain, sebenarnya bukanlah lembaga baru di ranah Desa. Sebelum UU Desa lahir, pendirian Badan Usaha Milik Desa telah dipayungi dan digerakkan oleh berbagai regulasi. Pendirian BUM Desa dilandasi oleh UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) No.71 Tahun 2005 tentang Desa dan Permendagri No.39 Tahun 2010.
Kebijakan pemerintah itu mempunyai kehendak dan semangat yang agung. BUM Desa dimaksudkan sebagai wadah usaha desa, dengan spirit kemandirian, kebersamaan dan kegotongroyongan antara pemerintah desa dan masyarakat, yang mengembangkan aset lokal untuk memberikan pelayanan kepada warga
masyarakat dan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat dan desa. BUM Desa tentu juga bermaksud untuk memberikan sumbangan terhadap penanggulangan kemiskinan dan pencapaian kesejahteraan rakyat.
Dalam Permendagri juga mengandung substansi yang inovatif. Pertama, pembentukan BUM Desa bersifat kondisional, yakni membutuhkan
sejumlah prayarat, yang menjadi dasar kelayakan pembentukan BUM Desa. Dalam pasal 5 ditegaskan tentang syarat-syarat pembentukan BUM Desa sebagai berikut:
- atas inisiatif pemerintah desa dan atau masyarakat berdasarkan
- musyawarah warga desa;
- adanya potensi usaha ekonomi masyarakat;
- sesuai dengan kebutuhan masyarakat, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok;
- tersedianya sumber daya desa yang belum dimanfaatkan secara optimal, terutama kekayaan desa;
- tersedianya sumber daya manusia yang mampu mengelola badan usaha sebagai aset penggerak perekonomian masyarakat desa;
- adanya unit-unit usaha masyarakat yang merupakan kegiatan ekonomi warga masyarakat yang dikelola secara parsial dan kurang terakomodasi; dan
- untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan asli desa.
(Baca: BUMDes Kian Penting, Jadi Motor Perekonomian Desa)
Keempat, pengelolaan BUM Desa bersifat demokratis dan teknokratis. Dimensi teknokrasi terlihat dalam bentuk pembagian kerja yang jelas, dimensi demokrasi tidak hanya terlihat pada komponen musyawarah desa (institusi demokrasi deliberatif) tetapi juga ditunjukkan pada komponen kuntabilitas. Pemisahan organisasi maupun aset BUM Desa dari pemerintah desa merupakan komponen penting untuk menjaga akuntabilitas BUM Desa.
Ketiga, mekanisme pembentukan BUM Desa bersifat inklusif, deliberatif dan partisipatoris. Artinya BUM Desa tidak cukup dibentuk oleh pemerintah desa, tetapi dibentuk melalui musyawarah desa yang melibatkan berbagai komponan masyarakat. Secara organisasional musyawarah desa juga dilembagakan sebagai institusi tertinggi dalam BUM Desa, seperti halnya rapat anggota dalam koperasi.
Buku Indonesia Membangun Desa, donwload disini.